Pulau Sebesi (Sebesi Islan) adalah sebuah pulau yang secara administratif berada di wilayah Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Indonesia. Berbentuk seperti gunung berapi dengan ketinggian 844m, secara geografis pulau ini terletak di selat Sunda atau wilayah selatan perairan Lampung. Lebih tepatnya P. Sebesi berada di sebelah selatan dari Pulau Sebuku, sebelah timur Pulau Serdang dan Pulau Legundi, serta sebelah Timur Laut Gugusan Krakatau. Pulau ini merupakan daratan yang paling dekat dengan Gugusan Krakatau dan turut menjadi saksi kedahsyatan letusan besar Krakatau tahun 1883. Sejak dulu Pulau Sebesi sangat terkenal akan kesuburan tanahnya. Kini, selain memiliki keunggulan di sektor perkebunan, pulau ini juga sedang dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata andalan Lampung Selatan selain Krakatau dan sejumlah pantai seperti Merak Belantung, Kalianda resort, dll. Nama Pulau Sebesi diduga berasal dari bahasa Sansekerta, Sawesi (Savvesi). Masyarakat sekitar biasa menyebut Pulau Sebesi dengan sebutan Pulo'.
Sebelum meletusnya Krakatau pada tahun 1883 masyarakat di Pulau Sebesi umumnya bertani karet, lada, dan kelapa. Bahkan riwayat mengenai kebun lada di Pulau Sebesi sudah berlangsung sejak Sultan Banten memberikan perintah pada Pangeran Cecobaian agar mewajibkan seluruh elemen masyarakat Sabrang (sebutan dari orang-orang Banten untuk penduduk Lampung saat itu) mulai dari pembesar, punggawa, maupun orang kecil, untuk menanam lada sebanyak 500 batang per kepala. Setelah berbuah hasilnya boleh dijual kepada siapa saja, baik kepada orang Jawa, Cina, Eropa, maupun ke Banten. Barang siapa yang diketahui tidak menanam 500 batang pohon lada maka Sultan akan menjatuhi hukuman pasung dan seluruh anggota keluarganya diseret ke Banten. Perintah Sultan kepada Pangeran Cecobaian ini dituangkan dalam sebuah piagam tembaga beraksara Jawa yang diundangkan pada tahun 1074 H (1653 M). Sebelum meletusnya Krakatau, penduduk Pulau Sebesi hampir seluruhnya berasal dari pesisir. Di luar itu juga terdapat beberapa orang dari Banten yang ikut tinggal di Pulau Sebesi. Masyarakat saat itu rata-rata bekerja sebagai petani karet, lada, dan kelapa, serta pengolahan hasil kayu dari hutan. Meski tidak banyak, namun sebagian kecil warga bertani sarang burung walet.
Pasca letusan besar Krakatau, Pulau Sebesi sempat lama ditinggalkan oleh masyarakat pesisir karena takut akan terulangnya letusan Krakatau. Pulau Sebesi baru kembali ditanami tanaman perkebunan setelah pulau ini dibeli oleh Haji Djamaludin dari Pangeran Minak Putra. Setelah resmi menjadi pemilik tunggal Pulau Sebesi dan Sebuku, Haji Djamaludin secara berangsur-angsur membawa puluhan pekerja dan ribuan bibit tanaman Kelapa untuk ditanam di kedua pulau tersebut. Hal ini dicatat oleh sejumlah ahli biologi yang berkunjung ke Pulau Sebesi untuk pertama kalinya pada tahun 1920. Pasca beralihnya kepemilikan Pulau dari Pangeran Minak Putra kepada Haji Djamaludin, beberapa penduduk pesisir yang selamat datang ke pulau itu untuk bekerja sebagai buruh tanam kelapa. Namun gelombang masuknya penduduk ke Pulau Sebesi baru benar-benar dimulai tahun 1913. Saat itu beberapa rombongan dari Banten datang dan meminta izin untuk menanam kepada Haji Djamaludin. Penduduk Pulau Sebesi yang bersuku Banten saat ini hampir seluruhnya merupakan keturunan dari pendatang tahun 1913.